Kuansing, SniperNew.id – Dunia jurnalistik di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, kembali diguncang oleh tindakan kekerasan terhadap insan pers. Seorang wartawan lokal menjadi korban penyerangan saat tengah meliput kegiatan penertiban Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Teluk Bayur, Kecamatan Cerenti, pada awal Oktober 2025, Rabu (08/10).
Insiden itu terjadi ketika aparat penegak hukum bersama tim gabungan melakukan penertiban aktivitas tambang emas ilegal yang telah lama meresahkan masyarakat sekitar. Dalam suasana yang tegang antara petugas dan warga yang diduga terlibat dalam aktivitas PETI, seorang wartawan yang sedang meliput di lokasi justru menjadi sasaran amukan sekelompok orang yang tidak dikenal.
Dari keterangan di lapangan, diketahui bahwa korban dilempari batu oleh oknum yang diduga tidak senang dengan kehadiran wartawan yang sedang merekam proses penertiban. Serangan itu menyebabkan korban mengalami luka dan kerusakan pada peralatan kerja. Aksi brutal tersebut sontak mengundang keprihatinan sekaligus kemarahan dari berbagai pihak, khususnya Forum Pers Independent Indonesia (FPII).
Reaksi Keras FPII Kuansing: “Serangan Ini Ancaman Nyata bagi Kebebasan Pers” Ketua FPII Koordinator Wilayah (Korwil) Kuansing, Rusman Antagana, langsung mengecam keras tindakan tersebut. Dalam pernyataannya kepada awak media, Rusman menegaskan bahwa serangan terhadap wartawan adalah bentuk nyata dari ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia.
“Ini bukan sekadar insiden kecil. Ini adalah serangan langsung terhadap kebebasan pers! Wartawan bekerja dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Saya mendesak Kapolres Kuansing untuk segera menangkap dan memproses pelaku penyerangan tersebut sesuai hukum yang berlaku,” tegas Rusman dengan nada tinggi.
Menurutnya, tindakan kekerasan terhadap wartawan tidak hanya melukai korban secara fisik, tetapi juga melukai seluruh profesi pers yang bekerja untuk menyampaikan kebenaran kepada publik. Ia menegaskan bahwa wartawan hadir di lapangan bukan untuk memprovokasi, melainkan menjalankan tugas jurnalistik dalam rangka memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang.
“Jangan coba-coba menyerang wartawan! Kami tidak akan tinggal diam. Kalau aparat tidak bertindak cepat, kami akan menempuh jalur hukum dan melaporkannya kepada instansi yang berwenang,” tegas Rusman lagi.
Dalam pernyataannya, Rusman juga menegaskan bahwa tindakan menghalangi, apalagi menyerang wartawan saat bertugas, merupakan tindak pidana. Ia mengutip Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang berbunyi:
“Setiap orang yang secara sengaja menghambat atau menghalangi pelaksanaan kegiatan jurnalistik dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”
Rusman menilai bahwa ketentuan hukum ini jelas memberikan perlindungan kepada wartawan dalam menjalankan profesinya. Karena itu, setiap tindakan yang menghalangi kerja jurnalistik harus diproses secara hukum tanpa pandang bulu.
“Wartawan bukan musuh masyarakat, bukan pula ancaman bagi siapa pun. Wartawan justru menjadi jembatan informasi antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Menyerang wartawan berarti menyerang demokrasi dan hak publik untuk tahu,” ujarnya dengan nada serius.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, kejadian bermula ketika tim penertiban dari Polres Kuansing bersama aparat gabungan turun ke lokasi penambangan emas ilegal di wilayah Desa Teluk Bayur. Sejumlah wartawan dari media lokal ikut meliput kegiatan tersebut untuk kepentingan pemberitaan.
Namun, di tengah proses penertiban, beberapa orang yang diduga merupakan pelaku atau simpatisan aktivitas PETI merasa terganggu dengan kehadiran jurnalis yang merekam jalannya kegiatan. Tiba-tiba, lemparan batu meluncur ke arah wartawan, menyebabkan kekacauan di lokasi.
Korban sempat berusaha menghindar, namun tetap terkena lemparan hingga mengalami luka ringan dan kerusakan pada alat kerja berupa kamera. Meski tidak menimbulkan korban jiwa, tindakan tersebut jelas merupakan bentuk intimidasi yang tidak bisa ditoleransi.
“Ini bukan hanya soal luka fisik. Tapi soal rasa aman kami sebagai jurnalis di lapangan. Kami tidak boleh dibungkam oleh ketakutan,” ujar salah satu rekan wartawan yang berada di lokasi kejadian.
Menanggapi insiden itu, Ketua FPII Setwil Riau, Demo Sumarak Sigalingging, juga menyuarakan kecaman keras terhadap tindakan penyerangan tersebut. Melalui sambungan telepon, Demo menegaskan bahwa peristiwa ini menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Riau, bahkan di Indonesia secara umum.
“Kita tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Ini bukan hanya persoalan pribadi wartawan yang diserang, tapi persoalan martabat profesi pers. Kalau wartawan saja tidak aman saat bertugas, bagaimana publik bisa mendapatkan informasi yang jujur dan terbuka?” ujarnya.
Demo meminta Polda Riau untuk turun tangan mengusut tuntas kasus ini. Menurutnya, kasus kekerasan terhadap wartawan tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada pihak kabupaten, mengingat dampaknya telah meluas ke tingkat provinsi.
“Kami dari FPII Setwil Riau menuntut Polda Riau untuk segera bertindak. Usut tuntas kejadian ini, tangkap pelakunya, dan proses sesuai hukum yang berlaku. Jangan biarkan kekerasan terhadap wartawan menjadi budaya yang dibiarkan,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa FPII Riau bersama jajaran di tingkat kabupaten akan terus mengawal proses hukum kasus ini hingga ada kejelasan dan keadilan bagi korban. “Kami akan kawal sampai tuntas. FPII tidak akan mundur dalam memperjuangkan hak-hak insan pers,” pungkasnya.
Insiden penyerangan terhadap wartawan di Kuansing juga memunculkan gelombang solidaritas dari kalangan jurnalis di Riau. Beberapa organisasi pers lokal menyatakan keprihatinan dan menyerukan agar seluruh jurnalis lebih berhati-hati saat meliput kegiatan di wilayah rawan konflik, terutama dalam operasi penertiban atau kegiatan yang melibatkan aparat dan masyarakat.
FPII Kuansing sendiri berencana melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk memastikan adanya langkah-langkah perlindungan terhadap jurnalis di lapangan. Rusman menilai pentingnya sinergi antara aparat keamanan, pemerintah daerah, dan organisasi pers dalam menjaga keselamatan wartawan.
“Kami akan berkoordinasi dengan aparat keamanan agar ke depan setiap kegiatan peliputan yang berpotensi konflik bisa dikawal dengan baik. Wartawan bukan lawan, justru mitra strategis dalam menyampaikan informasi pembangunan dan penegakan hukum,” ujarnya.
Kasus di Kuansing menambah daftar panjang insiden kekerasan terhadap wartawan di Indonesia, khususnya di daerah-daerah dengan potensi konflik sosial dan ekonomi tinggi. Aktivitas tambang ilegal, korupsi, dan penegakan hukum kerap menjadi isu sensitif yang membuat wartawan berada dalam posisi rentan.
Menurut data beberapa lembaga advokasi pers, kekerasan terhadap jurnalis sering kali terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap fungsi pers. Tidak jarang, wartawan dianggap sebagai ancaman oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu.
Dalam konteks ini, FPII menilai perlunya edukasi publik tentang peran media, serta penguatan sistem perlindungan hukum terhadap wartawan, baik melalui regulasi maupun dukungan aparat penegak hukum.
“Wartawan bekerja di lapangan bukan untuk mencari musuh. Mereka menjalankan fungsi kontrol sosial. Negara wajib hadir melindungi,” tegas Demo Sumarak Sigalingging.
Menutup pernyataannya, baik Rusman Antagana maupun Demo Sumarak Sigalingging sama-sama menegaskan komitmen FPII Kuansing dan FPII Setwil Riau untuk terus mengawal kasus ini hingga ada kepastian hukum. Mereka berharap tindakan tegas dari kepolisian dapat menjadi efek jera bagi siapa pun yang mencoba mengintimidasi atau menyerang wartawan di masa mendatang.
“Kami akan terus bersuara. Kami tidak akan biarkan kekerasan terhadap wartawan menjadi hal yang biasa. FPII berdiri di garis depan untuk membela kebenaran dan kebebasan pers,” pungkas Rusman.
Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan, pihak Polres Kuansing belum memberikan keterangan resmi terkait perkembangan penyelidikan kasus tersebut. Namun, masyarakat dan komunitas pers berharap agar penegakan hukum berjalan cepat dan transparan, demi menegakkan keadilan dan menjaga marwah kebebasan pers di Bumi Lancang Kuning.
Reporter: ($ufiy). (Kuansing, Riau | 07 Oktober 2025). (Redaksi: FPII Korwil Kuansing).