Jakarta, SniperNew.id – Lonjakan ekspor sampah plastik dari Inggris ke Indonesia memicu keprihatinan publik dan menjadi sorotan tajam di kalangan pemerhati lingkungan dunia. Berdasarkan laporan terbaru dari akun media sosial iknpos.id melalui unggahan di platform Threads, pada tahun 2025 Inggris tercatat mengirimkan 24.006 ton sampah plastik ke Indonesia. Angka ini melonjak lebih dari 45 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, menandakan peningkatan yang luar biasa sekaligus memicu tanda bahaya mengenai arah kebijakan pengelolaan limbah internasional, Kamis (09/10/25).
Unggahan yang ramai diperbincangkan tersebut menyoroti bagaimana praktik ekspor limbah plastik dari negara maju ke negara berkembang masih terus berlangsung meski banyak menuai kritik. Data dari organisasi lingkungan The Last Beach Cleanup menjadi pemicu perdebatan serius setelah menemukan fakta bahwa sebagian besar sampah plastik asal Inggris justru berakhir di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Menurut laporan tersebut, pada tahun 2025, Inggris secara resmi tercatat mengirimkan 24.006 ton sampah plastik ke Indonesia. Jumlah ini meningkat lebih dari 4.400 persen dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan ini menimbulkan keprihatinan mendalam karena menandakan bahwa Inggris semakin bergantung pada ekspor limbah plastik untuk mengelola masalah domestiknya.
Unggahan iknpos.id menulis. “Tahun 2025, Inggris tercatat mengirim 24.006 ton sampah plastik ke Indonesia, naik lebih dari 45 kali lipat dibanding tahun lalu. Data dari The Last Beach Cleanup memicu kritik tajam karena praktik ini dianggap sebagai bentuk ekspor polusi.”
Kritik tersebut mengemuka karena ekspor limbah plastik sering dianggap sebagai upaya negara maju memindahkan beban pencemaran lingkungan ke negara berkembang. Indonesia sendiri, menurut para aktivis, masih menghadapi tantangan besar dalam mengelola sampah domestik tanpa tambahan beban dari luar negeri.
Organisasi lingkungan The Last Beach Cleanup menilai praktik ini sebagai bentuk “ekspor polusi”—di mana negara maju seperti Inggris mengekspor sampah plastik ke negara berkembang dengan alasan daur ulang, padahal sebagian besar limbah tersebut sulit diproses dan justru mencemari lingkungan.
Sementara itu, aktivis lingkungan di Indonesia mengingatkan bahwa sebagian besar limbah plastik impor berakhir di tempat pembuangan terbuka, pesisir pantai, atau mencemari sungai. Kondisi ini berdampak langsung pada kesehatan masyarakat, keanekaragaman hayati, serta keberlanjutan ekosistem laut.
Di sisi lain, Uni Eropa telah menyepakati kebijakan yang melarang ekspor limbah plastik ke negara-negara miskin mulai tahun 2026. Namun Inggris, yang telah keluar dari Uni Eropa melalui proses Brexit, belum menunjukkan langkah tegas dalam mengikuti kebijakan tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kritik global terkait komitmen Inggris terhadap keadilan lingkungan.
Unggahan iknpos.id juga menuliskan. “Sementara Uni Eropa sudah sepakat melarang ekspor limbah ke negara miskin mulai 2026, Inggris justru dinilai belum menunjukkan langkah tegas.”
Sebagian besar sampah plastik ekspor Inggris ke Indonesia dikirim melalui jalur pelabuhan utama di Jawa dan Sumatra. Setibanya di Indonesia, limbah tersebut biasanya diolah di pabrik daur ulang atau industri pengolahan plastik skala kecil. Namun dalam praktiknya, banyak dari sampah ini yang tidak dapat didaur ulang karena kontaminasi dan kualitas bahan yang rendah.
Hasil investigasi beberapa lembaga lingkungan di Indonesia menunjukkan bahwa limbah impor sering kali bercampur dengan sampah rumah tangga, bahan berbahaya, dan sisa makanan, yang akhirnya berakhir di TPA atau bahkan dibakar secara terbuka. Pembakaran tersebut berpotensi menghasilkan gas beracun seperti dioksin yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan mencemari udara.
Sebuah foto yang turut disertakan dalam unggahan Threads oleh iknpos.id memperlihatkan para relawan lingkungan sedang memungut tumpukan plastik di tepi pantai yang penuh dengan sampah warna-warni. Pemandangan ini memperkuat gambaran nyata bagaimana sampah impor memperburuk krisis lingkungan di daerah pesisir.
Peningkatan ekspor limbah plastik dari Inggris tidak lepas dari kebijakan domestik yang menekan penggunaan TPA di dalam negeri serta keterbatasan fasilitas daur ulang. Untuk menghemat biaya dan mempercepat proses pembuangan, sebagian besar perusahaan pengelola sampah memilih mengirimkan limbah ke luar negeri — terutama ke negara berkembang di Asia.
Secara resmi, Inggris berdalih bahwa ekspor tersebut dilakukan dalam konteks “kerja sama daur ulang internasional.” Namun, laporan-laporan independen menunjukkan bahwa lebih dari 80% limbah yang dikirim tidak dapat diolah dengan aman, sehingga sebagian besar justru berakhir menjadi pencemar baru di negara tujuan.
Para pengamat menilai kebijakan ini tidak hanya melanggar semangat Circular Economy (ekonomi sirkular), tetapi juga mencerminkan ketimpangan ekologis global, di mana negara miskin menanggung dampak lingkungan dari konsumsi berlebihan negara kaya.
Hingga berita ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Indonesia terkait lonjakan ekspor sampah plastik tersebut. Namun, aktivis lingkungan dalam negeri mendesak pemerintah untuk bersikap lebih tegas dan selektif terhadap impor limbah plastik, terutama yang berasal dari negara maju.
Beberapa organisasi seperti Nexus3 Foundation dan Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) menyerukan agar Indonesia memperketat izin impor limbah plastik dan meningkatkan transparansi data impor. Mereka menilai bahwa impor limbah seringkali dibungkus dengan istilah “bahan baku industri daur ulang”, padahal banyak di antaranya adalah sampah yang tak bisa diolah.
Selain itu, desakan juga datang dari berbagai lembaga pendidikan dan peneliti lingkungan yang menilai praktik ini berpotensi merusak reputasi Indonesia sebagai negara maritim dan mengancam pariwisata bahari.
Dalam konteks global, isu ini menyoroti pentingnya kerja sama lintas negara dalam mengelola limbah plastik secara berkeadilan. Beberapa langkah yang disarankan oleh para ahli antara lain:
Transparansi ekspor limbah: Inggris dan negara maju lainnya harus membuka data volume, jenis, dan tujuan pengiriman limbah plastik secara publik.
Peningkatan kapasitas daur ulang domestik: Negara penerima, termasuk Indonesia, perlu memperkuat fasilitas pengolahan limbah agar mampu memanfaatkan plastik dengan benar, bukan sekadar menampungnya.
Kerjasama internasional berbasis keadilan lingkungan: Setiap negara perlu bertanggung jawab atas limbah yang mereka hasilkan. Prinsip polluter pays harus diterapkan secara nyata.
Edukasi publik dan industri: Baik masyarakat maupun pelaku usaha perlu lebih sadar akan dampak penggunaan plastik sekali pakai serta pentingnya inovasi bahan ramah lingkungan.
Unggahan iknpos.id menutup laporannya dengan pertanyaan reflektif. “Apakah ini bentuk ketidakadilan lingkungan global?”
Pertanyaan tersebut kini menggema di berbagai forum internasional dan menjadi bahan perdebatan hangat di antara pegiat lingkungan. Banyak pihak menilai, selama negara maju masih mengekspor limbahnya ke negara berkembang, dunia belum benar-benar adil secara ekologis.
Lonjakan ekspor sampah plastik Inggris ke Indonesia bukan sekadar persoalan perdagangan limbah, tetapi juga cermin dari ketimpangan lingkungan global. Di satu sisi, negara maju berupaya menjaga kebersihan lingkungannya, sementara di sisi lain, negara berkembang harus menanggung dampak ekologisnya.
Dengan 24.006 ton limbah plastik yang masuk hanya dalam satu tahun, Indonesia kini berada di persimpangan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Dunia menanti langkah nyata baik dari Inggris yang harus bertanggung jawab atas limbahnya, maupun dari Indonesia yang perlu menegakkan kedaulatan ekologisnya.
Jika tidak, maka pertanyaan yang diajukan dalam unggahan iknpos.id itu akan tetap relevan:
“Apakah ini bentuk ketidakadilan lingkungan global?”
(SniperNew.id | Laporan Redaksi, 2025)