Berita Daerah

Masyarakat Adat Halangan Ratu Desak PTPN I Hentikan Klaim Tanah Adat, Minta Dialog Terbuka

342
×

Masyarakat Adat Halangan Ratu Desak PTPN I Hentikan Klaim Tanah Adat, Minta Dialog Terbuka

Sebarkan artikel ini

Pesawaran, SniperNew.id – Masyarakat adat Tiyuh Halangan Ratu, Kecamatan Negeri Katon, Kabupaten Pesawaran, menyatakan penyesalan dan keberatan atas tindakan PTPN I Regional 7 Unit Rejosari Natar, Lampung Selatan, yang memasang plang bertuliskan klaim kepemilikan negara di atas tanah adat mereka, Jumat (17/10).

Plang tersebut memuat keterangan bahwa kebun sawit di wilayah tersebut merupakan aset negara yang berasal dari Hak Erfpacht yang dinasionalisasi.

Menurut masyarakat adat, tindakan itu dinilai menyesatkan dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman publik mengenai status tanah adat Tiyuh Halangan Ratu. Mereka menegaskan bahwa tanah tersebut adalah warisan turun-temurun masyarakat marga Way Semah, yang hingga kini belum pernah diganti rugi atau diganti guling oleh pemerintah maupun pihak perusahaan.

Kasus ini mencuat ketika sejumlah warga adat menemukan plang baru bertuliskan klaim milik negara yang dipasang oleh pihak PTPN I Regional 7 di kawasan kebun sawit yang berada dalam wilayah adat Halangan Ratu.
Menurut warga, tindakan itu dianggap tidak memiliki dasar hukum yang jelas, karena wilayah tersebut telah lama menjadi bagian dari tanah ulayat masyarakat adat Way Semah.

Salah satu tokoh adat, Dahsan gelar Khaja Tuan, menyampaikan keprihatinannya. Ia menilai langkah PTPN I tersebut justru dapat membangun opini negatif terhadap pemerintah dan memicu ketegangan antara masyarakat dan perusahaan.

“Kami sangat menyayangkan tindakan ini karena bisa menimbulkan kesan bahwa pemerintah merampas tanah adat dan tidak menghormati konstitusi,” ujar Khaja Tuan, Puyimbang Adat Tiyuh Halangan Ratu, Rabu (15/10/2025).

Persoalan ini tidak berdiri sendiri. Sebelumnya, masyarakat juga menyoroti kebijakan PTPN I Regional 7 Rejosari yang menyewakan lahan sekitar 31 hektare kepada masyarakat dengan tarif Rp8 juta per hektare per tahun untuk ditanami jagung. Lahan tersebut berada di tengah-tengah kebun sawit yang ditanam di atas tanah adat Tiyuh Halangan Ratu.

Kebijakan sewa lahan ini dinilai sebagai indikasi bahwa perusahaan mengakui tanah tersebut bukan sepenuhnya milik negara, sebab penyewaan dilakukan kepada masyarakat tanpa kejelasan dasar hak atas tanah.

Bagi warga adat, praktik tersebut semakin memperkuat dugaan adanya tumpang tindih klaim dan pelanggaran terhadap hak masyarakat adat.

“Kalau memang tanah itu milik negara atau perusahaan, kenapa justru disewakan kepada kami dengan biaya tinggi? Ini membingungkan dan tidak adil,” ujar salah satu warga.

Masyarakat adat Halangan Ratu menegaskan, tanah yang dipasangi plang tersebut merupakan tanah adat marga Way Semah. Wilayah itu telah menjadi tempat hidup, bercocok tanam, dan menjaga warisan leluhur selama ratusan tahun.

Menurut mereka, tidak pernah ada surat ganti rugi, kompensasi, maupun keputusan pemerintah yang mengalihkan hak kepemilikan atas tanah tersebut.

Oleh karena itu, mereka menilai tindakan pemasangan plang oleh PTPN I Regional 7 sebagai upaya sepihak yang provokatif dan merusak hubungan harmonis antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah.

Khaja Tuan berharap agar PTPN I menghentikan segala aktivitas yang dianggap provokatif dan membuka ruang dialog terbuka bersama masyarakat adat, pemerintah daerah, serta instansi terkait seperti ATR/BPN.

“Kami ingin persoalan ini diselesaikan dengan cara baik, bukan dengan opini yang justru memperkeruh hubungan antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah,” tegasnya.

Dalam menyampaikan protesnya, masyarakat adat mengacu pada Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain itu, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 juga menjadi dasar hukum penting, karena menegaskan pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat selama masih ada dan diakui keberadaannya.

Masyarakat juga menyinggung pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN yang menegaskan bahwa tanah adat bukan merupakan milik negara, melainkan milik masyarakat adat yang memiliki dasar sejarah dan pengakuan hukum adat.

Dengan mengacu pada ketentuan hukum tersebut, masyarakat adat menilai bahwa klaim PTPN I terhadap tanah adat Way Semah tidak memiliki legitimasi hukum yang kuat.

Pemasangan plang klaim aset negara oleh PTPN I Regional 7 dikhawatirkan dapat memicu konflik sosial di lapangan, mengingat tanah tersebut memiliki nilai historis dan emosional tinggi bagi masyarakat adat.

Warga mengaku khawatir tindakan tersebut dapat membuka peluang bagi munculnya provokasi, gesekan antarwarga, bahkan potensi kriminalisasi terhadap tokoh adat.

Tokoh-tokoh adat menilai, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum harus bersikap netral dan menjembatani komunikasi antara masyarakat dan perusahaan agar permasalahan tidak berkembang menjadi konflik horizontal.

“Kami tidak menolak investasi atau perusahaan negara, tapi jangan sampai mengorbankan hak masyarakat adat. Kami ingin keadilan dan pengakuan atas tanah warisan leluhur kami,” ungkap Khaja Tuan.

Masyarakat adat Tiyuh Halangan Ratu berharap Pemerintah Kabupaten Pesawaran dan Pemerintah Provinsi Lampung dapat segera turun tangan memediasi permasalahan ini.
Mereka juga meminta Kementerian ATR/BPN melakukan peninjauan ulang terhadap status hukum lahan yang diklaim oleh PTPN I, serta memastikan tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat.

Masyarakat menegaskan bahwa tidak menolak keberadaan PTPN I sebagai bagian dari perusahaan negara yang berkontribusi terhadap perekonomian nasional, namun mereka menuntut penghormatan terhadap hak adat dan konstitusi.

“Kami tidak ingin masalah ini menjadi panjang. Kami hanya ingin kejelasan status tanah kami dan perlindungan dari pemerintah,” ujar salah satu tokoh muda adat Way Semah.

Masyarakat adat Halangan Ratu mengusulkan tiga langkah konkret untuk menyelesaikan persoalan ini secara damai dan bermartabat:

1. Dialog Terbuka
Menghadirkan pihak PTPN I Regional 7, pemerintah daerah, ATR/BPN, dan perwakilan masyarakat adat untuk membahas status tanah secara terbuka dan transparan.

2. Audit Legalitas Lahan
Meminta pemerintah pusat dan daerah melakukan verifikasi terhadap dokumen dan sejarah kepemilikan tanah, termasuk asal-usul Hak Erfpacht yang diklaim telah dinasionalisasi.

3. Moratorium Aktivitas Perusahaan
Meminta PTPN I menghentikan sementara kegiatan pemasangan plang, penyewaan lahan, atau aktivitas baru di wilayah adat hingga persoalan hukum selesai.

Persoalan antara masyarakat adat Tiyuh Halangan Ratu dan PTPN I Regional 7 Rejosari Natar merupakan potret klasik konflik agraria di Indonesia, di mana klaim kepemilikan antara negara, perusahaan, dan masyarakat adat kerap tumpang tindih.

Kasus ini menegaskan pentingnya pengakuan nyata terhadap hak-hak masyarakat adat sebagaimana dijamin konstitusi, agar tidak menimbulkan ketidakadilan dan konflik sosial di kemudian hari.

Masyarakat berharap semua pihak dapat menahan diri, mengedepankan dialog, dan mencari solusi yang menghormati hukum adat serta ketentuan perundang-undangan nasional. Dengan langkah yang bijak dan terbuka, persoalan ini diharapkan dapat diselesaikan secara damai, adil, dan berkeadilan bagi seluruh pihak. (penulis: sufiyawan).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *