Jakarta, SniperNew.id – Pernyataan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, tengah menjadi sorotan publik setelah mengomentari secara tegas keberadaan pegawai baru di Bali yang memiliki tato besar serta terlibat dalam pelanggaran disiplin. Dalam sebuah forum resmi, Agus terlihat menyampaikan kekesalannya terhadap pegawai yang ia nilai melakukan pelanggaran di luar batas, sembari mengucapkan kalimat tajam, “Ini apa penyakit mental?”, Selasa 05 Agustus 2025.
Ungkapan itu pun terekam dalam video yang kini viral di media sosial. Video tersebut menampilkan Agus berdiri di podium dengan seragam dinas lengkap, menyampaikan pidato di hadapan peserta forum. Di bagian bawah video tertulis teks yang mencolok: “INI APA PENYAKIT MENTAL.” Cuplikan tersebut mengundang berbagai reaksi dari publik, khususnya di media sosial.
Dalam unggahan yang dibagikan akun @gemabali.id melalui platform Threads, tertulis penjelasan mengenai latar belakang pernyataan Menteri Agus. Disebutkan bahwa ia menyoroti pegawai baru di Bali yang memiliki tato besar dan tersandung masalah disiplin. Agus menyatakan bahwa dirinya tidak anti terhadap tato, namun pelanggaran yang dilakukan oknum pegawai tersebut sudah melewati batas. Ia meminta agar proses hukum dan disiplin dijalankan secara tegas.
Unggahan tersebut turut menyertakan tagar-tagar seperti:
#bali #gemabali #viral #denpasar #tattoo #menteriimigrasidanpemasyarakatan, menandakan besarnya perhatian publik terhadap isu tersebut, terutama di wilayah Bali.
Reaksi Publik dan Komentar Netizen
Unggahan tersebut memicu gelombang reaksi dari warganet, yang sebagian besar mempertanyakan sikap pemerintah yang dinilai masih menilai seseorang dari penampilan luar, seperti keberadaan tato.
Beberapa komentar yang mencolok di antaranya:
1. wbayuajie (24 menit lalu) menulis:
“Di jaman Orba, untuk menjadi PNS, TNI, Polri harus tidak bertato, tidak bertindik..”
Komentar ini mengingatkan bahwa standar penampilan luar seperti bebas tato dan tindik masih menjadi syarat yang tidak tertulis di beberapa instansi pemerintahan.
2. el_grazie (16 menit lalu) memberikan pandangan yang lebih luas:
“Banyak tentara luar negeri bertatto tidak dipersoalkan negara mereka. Hanya di Indonesia yg selalu menilai orang dari covernya saja. Bahwa ada org yg salah gunakan posisi dlm kerja itu iya dan ada tapi kemudian jgn generalisir semua begitu.”
Ia menegaskan bahwa tato bukanlah indikator utama kualitas moral atau profesionalisme seseorang, dan meminta agar masyarakat serta pemerintah tidak menggeneralisasi semua pemilik tato sebagai bermasalah.
3. ketutsuardika25 (12 menit lalu) menyuarakan kekecewaannya terhadap standar moral ganda:
“Negara sok alim dan agamis tapi kelakuan korupsi dan memalukan… harusnya dilihat dari kinerja di lihat… bertatto kinerja bagus dan bertanggung jawab gpp. Dp tanpa tatto kinerjanya buruk dan korup sama dg boong.”
Ia menyampaikan bahwa banyak pejabat yang tampak agamis dan bersih dari luar, namun tetap melakukan korupsi, sehingga menurutnya, penilaian seharusnya berfokus pada kinerja, bukan tampilan.
4. iwayan3324 (5 menit lalu) menyindir kondisi pejabat di Indonesia:
“Pejabat banyak yg agamis tidak bertato tapi menyengsarakan rakyat kecil, seperti biasa 😒😒😒.”
Komentar ini mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap perilaku elite politik yang kerap mengedepankan moralitas simbolik, namun gagal menunjukkan integritas dalam kebijakan.
Isu tato di lingkungan kerja pemerintah sebenarnya sudah lama menjadi bahan perdebatan. Banyak instansi di Indonesia, baik sipil maupun militer, secara tidak langsung memiliki standar moral dan estetika tersendiri terhadap pegawai yang memiliki tato. Meskipun tidak secara eksplisit dilarang dalam peraturan perundang-undangan, tato kerap diasosiasikan dengan pemberontakan, kriminalitas, atau ketidaksopanan.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pandangan terhadap tato mulai bergeser, terutama di kalangan anak muda dan profesional kreatif. Tato dianggap sebagai bagian dari ekspresi diri, bukan indikator moral seseorang.
Pernyataan Agus Andrianto yang menyebutkan “tidak anti terhadap tato” menunjukkan bahwa ia memahami perubahan budaya ini, tetapi tetap menekankan bahwa pelanggaran disiplin adalah fokus utamanya. Dengan kata lain, tato bukan masalah utama, melainkan perilaku pegawai yang tidak disiplinlah yang jadi sorotan.
Pernyataan publik dari pejabat tinggi negara kini tidak hanya didengar oleh audiens yang hadir dalam ruangan, melainkan disebarkan secara luas dan instan melalui media sosial. Kalimat seperti “Ini apa penyakit mental” yang mungkin dimaksudkan sebagai bentuk ekspresi tegas, justru bisa menimbulkan kesan diskriminatif atau tidak berempati di mata publik luas.
Hal ini mengingatkan pentingnya sensitivitas berkomunikasi di ruang publik, apalagi bagi pejabat negara yang setiap ucapannya akan dianalisis dan dibandingkan oleh warganet yang kritis.
Kasus ini menjadi cermin bagi pemerintah dan masyarakat untuk melihat isu disiplin pegawai dari sudut pandang yang lebih objektif. Penampilan luar, seperti tato, memang masih menjadi bahan perdebatan, namun tidak seharusnya dijadikan satu-satunya tolok ukur untuk menilai kapabilitas dan integritas seseorang.
Jika pelanggaran disiplin memang terjadi, maka proses hukum dan administratif memang perlu dijalankan. Namun demikian, pendekatan komunikasi dan cara menyampaikan kritik juga perlu lebih hati-hati agar tidak menimbulkan stigma yang tidak perlu.
Seiring berkembangnya zaman dan perubahan sosial, kebijakan internal dan etika komunikasi pejabat publik pun perlu mengikuti. Jika tidak, maka jarak antara pemerintah dan masyarakat—khususnya generasi muda—akan semakin melebar.
Reporter: (Ahmad)
Sumber Visual: Merdeka.com, gemabali.id