Berita Daerah

Tanah Adat Halangan Ratu Diduga Dicaplok, Warga Tagih Janji Plasma PTPN I Regional 7

386
×

Tanah Adat Halangan Ratu Diduga Dicaplok, Warga Tagih Janji Plasma PTPN I Regional 7

Sebarkan artikel ini

Pesawaran, SniperNew.id – Sejumlah warga dan tokoh adat menyoroti kewajiban kemitraan plasma yang seharusnya dijalankan oleh PTPN I Regional 7 Unit Rejosari Natar, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Mereka menilai hingga saat ini perusahaan belum memberikan kejelasan terkait realisasi kebun plasma sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Keberadaan perusahaan perkebunan negara diharapkan membawa manfaat bagi masyarakat sekitar, terutama melalui program kemitraan plasma yang memberikan kesempatan bagi warga untuk mengelola lahan dan menikmati hasil ekonomi dari sektor perkebunan. Namun, warga justru merasa hak mereka diabaikan.

Tokoh adat Desa Halangan Ratu, Makmun Lias Gelar Pengikhan Yakin, menegaskan bahwa masyarakat sudah lama menunggu kejelasan program plasma dari pihak perusahaan. Ia menyebut bahwa pihak PTPN I Regional 7 Unit Rejosari sempat mengklaim telah memberikan lahan plasma seluas kurang lebih 2.000 hektare kepada masyarakat sekitar, namun hingga kini belum ada bukti nyata di lapangan.

“Kami hanya ingin hak kami sebagai warga sekitar perusahaan diperhatikan. Dalam undang-undang, perusahaan wajib memfasilitasi kebun plasma minimal 20 persen dari luas lahan yang mereka kelola. Tapi sampai sekarang belum ada penjelasan terbuka dari pihak PTPN,” ujarnya, Rabu (15/10/2025).

Makmun menambahkan, alih-alih memberikan manfaat, keberadaan PTPN I Regional 7 Unit Rejosari justru menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Ia menyebut, aktivitas galian besar di sekitar wilayah perkebunan dianggap mengancam keselamatan masyarakat, terutama anak-anak dan hewan ternak. Selain itu, ia juga menuding pihak perusahaan telah menguasai sebagian tanah adat milik masyarakat Desa Halangan Ratu.

“Boro-boro memberi kebun plasma kepada masyarakat, tanah adat kami pun yang luasnya kurang lebih 988 hektare ikut dikuasai oleh pihak PTPN. Ini jelas tidak sejalan dengan semangat kemitraan yang diatur undang-undang,” tegasnya.

Makmun mengingatkan bahwa kewajiban perusahaan untuk memfasilitasi kebun plasma sudah diatur secara jelas dalam Pasal 58 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang menyebutkan.

“Setiap perusahaan yang memiliki izin usaha perkebunan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat (plasma) paling sedikit 20 persen dari total luas areal yang diusahakan.”

Namun, menurut warga, aturan tersebut seolah diabaikan oleh pihak perusahaan. Mereka menilai PTPN I Regional 7 Unit Rejosari seharusnya menjadi contoh dalam penerapan prinsip kemitraan yang berkeadilan, bukan justru menambah beban ekonomi warga sekitar.

Sejumlah petani setempat juga mengeluhkan kondisi serupa. Mereka berharap pihak PTPN I Regional 7 lebih transparan dan mau bersinergi dengan masyarakat. Warga menilai pola kemitraan inti–plasma bisa menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan dan menekan kesenjangan sosial antara perusahaan dan masyarakat lokal.

Namun, harapan itu tampak masih jauh dari kenyataan. “Yang terjadi saat ini malah sebaliknya. Kami justru harus menyewa lahan kepada pihak PTPN I Rejosari dengan harga sekitar delapan juta rupiah per hektare per tahun. Ini jelas tidak benar,” ujar seorang petani setengah baya kepada sejumlah awak media.

Menurutnya, sistem sewa lahan yang diterapkan perusahaan justru memperburuk kondisi ekonomi masyarakat sekitar yang sebagian besar menggantungkan hidup dari sektor pertanian dan perkebunan.

Masalah tanah adat menjadi titik panas dalam konflik ini. Tokoh adat Desa Halangan Ratu menegaskan bahwa tanah adat yang selama ini mereka kelola secara turun-temurun tidak pernah dilepaskan secara sah kepada pihak manapun, termasuk perusahaan perkebunan negara.

Makmun Lias menyebut, pihaknya telah beberapa kali mencoba berkomunikasi dengan perusahaan maupun pemerintah daerah, namun belum ada langkah konkret untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Ia berharap pihak terkait tidak menutup mata terhadap penguasaan lahan adat yang mereka anggap sepihak.

“Kami tidak menolak pembangunan, tapi kami ingin hak kami dihormati. Kami punya bukti sejarah dan batas-batas wilayah adat kami. Kalau perusahaan merasa punya hak, mari duduk bersama dan tunjukkan bukti sahnya,” ujarnya.

Warga Desa Halangan Ratu bersama sejumlah tokoh adat meminta agar pemerintah daerah, DPRD, dan instansi terkait segera turun tangan memfasilitasi dialog antara masyarakat dan pihak perusahaan. Mereka berharap penyelesaian dilakukan secara adil, transparan, dan mengacu pada aturan hukum yang berlaku.

Selain itu, masyarakat mendesak agar program plasma segera direalisasikan dan status tanah adat dikembalikan sesuai hak masyarakat.

“Kami ingin ada kejelasan, bukan janji. Plasma adalah hak kami sebagai masyarakat sekitar. Pemerintah jangan diam saja,” kata seorang warga lainnya.

Tokoh-tokoh adat juga menegaskan bahwa mereka tetap membuka ruang musyawarah. Namun jika aspirasi masyarakat terus diabaikan, mereka siap menempuh jalur hukum dan menggelar aksi damai untuk menyuarakan tuntutan mereka.

Hingga berita ini diterbitkan, pihak PTPN I Regional 7 Unit Rejosari Natar belum memberikan tanggapan resmi terkait aspirasi masyarakat tersebut. Upaya konfirmasi yang dilakukan awak media melalui sambungan telepon dan pesan singkat belum mendapatkan jawaban dari pihak perusahaan.

Masyarakat berharap agar pimpinan PTPN I Regional 7 segera memberikan klarifikasi terbuka dan membeberkan data terkait realisasi kebun plasma maupun pengelolaan lahan di wilayah Rejosari Natar. Transparansi dinilai menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan.

Di akhir pernyataannya, Makmun Lias Gelar Pengikhan Yakin kembali menegaskan bahwa masyarakat tidak menolak keberadaan perusahaan, namun mereka menuntut keadilan dan keterbukaan. Ia mengingatkan bahwa hubungan harmonis antara perusahaan dan masyarakat hanya bisa tercipta jika hak-hak masyarakat diakui dan dihormati.

“Kami tidak menuntut lebih. Kami hanya ingin hidup layak di tanah kami sendiri. Jangan sampai tanah adat kami hilang karena kelalaian pihak perusahaan dan pembiaran dari pemerintah,” pungkasnya. (Sufiyawan).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *