Barito Utara, SniperNew.id – Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPRD Kabupaten Barito Utara dengan pihak perusahaan tambang batubara PT Nusa Persada Resort (PT NPR) yang seharusnya digelar di ruang rapat DPRD setempat berakhir ditunda, setelah pihak perusahaan tidak hadir meski telah menerima undangan resmi, Selasa (07/10/25).
Rapat yang dijadwalkan berlangsung pada awal pekan ini itu menghadirkan berbagai pihak yang terkait dengan persoalan pembebasan lahan dan pembayaran taliasih di Desa Karendan dan Desa Muara Pari, Kecamatan Lahei, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
Rapat dipimpin langsung oleh Wakil Ketua II DPRD Barito Utara, Hj. Henny Rosgiaty Rusli, dan turut dihadiri oleh Plt Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Barito Utara, Arson, S.T., M.Eng, Camat Lahei Anwar Sadat, serta sejumlah pemilik lahan yang merasa dirugikan oleh aktivitas perusahaan tambang tersebut.
Selain itu, undangan resmi juga telah disampaikan kepada pihak PT NPR agar hadir dan memberikan klarifikasi terkait tudingan penyimpangan dalam pembebasan lahan. Namun, ketidakhadiran perusahaan membuat rapat terpaksa ditunda karena dinilai belum memenuhi unsur klarifikasi dua arah.
Salah seorang pemilik lahan, Hison, menyampaikan kekecewaannya di hadapan media usai rapat tersebut. Ia menilai pihak perusahaan dan aparat desa telah melakukan pembebasan lahan tanpa melibatkan seluruh pemilik yang sah, termasuk dirinya dan beberapa warga lain.
“Saya sangat dirugikan, karena saya sama sekali tidak dilibatkan. Ini sangat mencurigakan, dan bisa jadi saya hanya dijadikan tumbal oleh oknum mafia lahan,” ujar Hison dengan nada kecewa.
Menurut Hison, sejak awal masyarakat tidak pernah menolak investasi tambang, namun mereka menuntut agar setiap proses pembebasan lahan dilakukan secara terbuka dan adil, tanpa ada manipulasi data kepemilikan atau pengalihan hak yang merugikan warga.
Meski persoalan status lahan masih belum tuntas, warga menyebut bahwa aktivitas PT NPR di lapangan tetap berjalan. Alat berat milik perusahaan bahkan dikabarkan sudah melakukan pengerjaan dan pembukaan lahan di area yang masih dipersengketakan.
Hison menegaskan, berdasarkan data lapangan, sedikitnya 40 hektar lahan yang diklaim sebagai milik warga kini telah tergarap oleh perusahaan.
“Saya selaku pengelola dan kuasa dari rekan-rekan yang lahannya ikut digarap oleh PT NPR, meminta Kepala Desa Karendan, Ricy, agar menggunakan kewenangannya untuk menyurati PT NPR dan menghentikan segala aktivitas di atas lahan tersebut,” tegas Hison.
Ia menilai langkah tersebut penting dilakukan agar tidak terjadi kerugian lebih besar di pihak warga. Selain kehilangan kebun dan tanaman produktif, warga juga mengaku belum menerima uang taliasih sebagaimana yang dijanjikan dalam kesepakatan awal.
Hison turut membeberkan adanya dugaan penyimpangan dalam pembagian dana taliasih lahan. Ia menyebut, berdasarkan data Lembar Spesifikasi (LS) dari PT NPR, tercatat dua bidang lahan seluas 1,7 hektar dan 8,9 hektar, yang seharusnya termasuk dalam wilayah kelola mereka. Namun, uang taliasih untuk lahan tersebut tidak pernah mereka terima.
Lebih lanjut, Hison mengungkapkan adanya berita acara di Mapolres Barito Utara yang diketahui oleh Kapolres dan Kapolsek Lahei, mengenai pencairan dana taliasih senilai Rp4,75 miliar. Dana tersebut, kata dia, dibagi dengan skema 55% untuk Ricy selaku Kepala Desa Karendan, dan 45% untuk Mukti Ali selaku Kepala Desa Muara Pari.
“Kalau benar uang itu sudah dicairkan, tapi kami selaku pemilik lahan tidak menerima sepeser pun, maka ini sudah masuk kategori tindak pidana. Kami sudah melaporkan hal ini ke Polres Barito Utara agar diproses sesuai hukum,” ujar Hison.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua II DPRD Barito Utara, Hj. Henny Rosgiaty Rusli, menyayangkan absennya pihak perusahaan. Ia menegaskan, DPRD akan menjadwalkan ulang RDP dan memanggil kembali pihak PT NPR bersama perangkat desa yang terlibat untuk dimintai klarifikasi.
“Kami dari DPRD akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Prinsip kami jelas, hak masyarakat tidak boleh dilanggar, dan setiap proses pembebasan lahan harus sesuai dengan prosedur hukum,” ujar Henny.
Ia juga menegaskan bahwa DPRD tidak akan tinggal diam jika ditemukan adanya unsur pelanggaran hukum atau praktik koruptif yang merugikan masyarakat. “Kalau perlu, kami akan rekomendasikan agar aparat penegak hukum turun langsung ke lapangan,” tambahnya.
Sementara itu, Camat Lahei, Anwar Sadat, dalam kesempatan yang sama meminta warga untuk tetap menjaga situasi kondusif, sembari menunggu penyelesaian kasus secara resmi melalui jalur hukum dan mekanisme pemerintahan.
“Kita semua berharap agar persoalan ini diselesaikan dengan kepala dingin. Jangan sampai terjadi gesekan di lapangan. Pemerintah kecamatan akan terus berkoordinasi dengan desa dan instansi terkait,” ucapnya.
Anwar juga mengingatkan agar perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Lahei tetap memperhatikan aturan tata ruang, izin lingkungan, dan hak-hak masyarakat lokal. Ia menegaskan, aktivitas pertambangan tanpa dasar hukum yang sah dapat memicu konflik sosial dan kerusakan lingkungan jangka panjang.
Sejumlah warga yang hadir dalam rapat juga mendesak pemerintah daerah untuk tidak memberi toleransi terhadap perusahaan yang mengabaikan aturan hukum dan merugikan masyarakat lokal. Mereka meminta Bupati Barito Utara dan instansi teknis segera turun tangan memverifikasi ulang seluruh proses pembebasan lahan oleh PT NPR.
“Kami tidak menolak investasi, tapi kami menolak ketidakadilan. Kalau memang perusahaan ingin beroperasi, harus transparan dan adil. Jangan sampai warga kecil dikorbankan demi kepentingan segelintir orang,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Persoalan ini bermula dari proses pembebasan lahan untuk kegiatan pertambangan batubara PT Nusa Persada Resort (PT NPR) di dua desa, yakni Desa Karendan dan Desa Muara Pari, Kecamatan Lahei. Warga mengklaim bahwa mereka tidak pernah menandatangani kesepakatan atau menerima pembayaran taliasih secara langsung, namun lahan mereka sudah digarap.
Di sisi lain, pihak desa disebut-sebut telah melakukan kesepakatan dengan perusahaan tanpa melibatkan seluruh pemilik lahan. Dugaan ini semakin menguat setelah munculnya data pembagian dana miliaran rupiah yang tidak sampai ke tangan warga.
Kasus ini kini dalam pantauan Polres Barito Utara setelah laporan resmi disampaikan oleh perwakilan warga. Aparat kepolisian disebut sedang mempelajari dokumen dan bukti-bukti yang telah diserahkan, termasuk berita acara pencairan dana dan bukti kepemilikan lahan.
Warga berharap agar DPRD, pemerintah daerah, dan aparat penegak hukum tidak berhenti hanya di rapat atau pertemuan semata, melainkan benar-benar menindaklanjuti temuan lapangan dan memastikan semua pihak yang terlibat bertanggung jawab.
“Kami hanya ingin hak kami dikembalikan. Jangan ada lagi penyelewengan atas nama masyarakat. Kami ingin semua berjalan sesuai hukum,” tutup Hison.
Penundaan RDP DPRD Barito Utara dengan PT Nusa Persada Resort menjadi tanda bahwa masalah pembebasan lahan di sektor tambang batubara belum selesai sepenuhnya. DPRD berkomitmen untuk terus memfasilitasi mediasi dan mendorong penegakan hukum agar hak masyarakat tidak terabaikan.
Persoalan ini menjadi ujian bagi transparansi tata kelola sumber daya alam di daerah, sekaligus peringatan bahwa investasi tidak boleh berjalan dengan mengorbankan hak warga. (Hendry)












