Berita Daerah

Ramai Sengketa Tanah di Pontianak, Warga Minta Keadilan dan Imbauan Agar Tidak Bawa Isu SARA

262
×

Ramai Sengketa Tanah di Pontianak, Warga Minta Keadilan dan Imbauan Agar Tidak Bawa Isu SARA

Sebarkan artikel ini

Pontianak, SniperNew.id  – Media sosial tengah diramaikan oleh perbincangan mengenai sengketa tanah di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Kasus ini mencuat setelah akun @pontianakmedia_id membagikan unggahan tentang sebidang tanah yang disebut tiba-tiba digunakan dan dibangun rumah oleh seorang oknum yang diduga berasal dari luar daerah, Minggu (05/10).

Dalam unggahan yang telah ditonton lebih dari 48 ribu kali itu, akun tersebut menulis bahwa tanah milik seorang warga setempat bernama Acin diduga telah dikuasai tanpa izin oleh pihak lain. Dalam foto yang turut diunggah, tampak sebuah papan peringatan bertuliskan:

“Tanah ini milik Acin telah dikuasakan kepada Paul. Peringatan!! Dilarang mendirikan bangunan, menempati, atau menggunakan tanpa izin.”

Unggahan itu juga menambahkan penjelasan bahwa pengusiran sempat dilakukan, namun pihak yang menempati rumah di lahan tersebut tidak mau meninggalkan lokasi dan meminta ganti rugi pembangunan apabila harus pindah.

Admin akun media tersebut menegaskan bahwa persoalan ini hanya melibatkan oknum, bukan mewakili suatu kelompok atau suku tertentu.

> “NB: Ini hanya oknum Cik, jangan langsung menyamaratakan satu suku ya,” tulis admin akun itu disertai emoji dan tanda permohonan.

Tagar #pontianakmedia pun disertakan dalam unggahan tersebut.

Unggahan itu langsung mengundang beragam komentar dari warganet. Sebagian besar mengingatkan agar kasus ini diselesaikan secara hukum dan tidak berkembang menjadi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Seorang pengguna bernama @bangtimbz menulis, “Ini jelas baru datang ke Kalbar. Dia gak tahu dulu konflik dipicu hal-hal seperti ini. Apa gak dikasih tahu sama sesepuhnya yang udah hidup puluhan tahun di Kalbar?”

Komentar tersebut merujuk pada sejarah konflik sosial di Kalimantan yang pernah terjadi akibat persoalan serupa, dan mengingatkan agar masyarakat tetap berhati-hati dalam menyikapi situasi.

Sementara itu, pengguna lain @badagwae membagikan cerita serupa di wilayah lain:

“Jadi inget cerita teman, punya tanah nganggur di Jakarta Utara sudah dipagerin. Lama gak ditengok, pas datang ternyata sudah ada rumah orang lain. Waktu ditanya, dia bilang ‘ya betul tanah bapak, cuma kan saya urug tanah, yang atas tanah saya’,” tulisnya disertai emoji tawa.

Beberapa warganet lain mengaitkan isu ini dengan kejadian serupa di berbagai daerah. Akun @evanajaya menulis bahwa di Jakarta Utara juga sering terjadi kasus serupa.

“Di Jakarta Utara juga masih banyak, terutama sepanjang rel Tanjung Priok menuju Jakarta Kota. Mereka mendirikan bangunan di lahan PT KAI sampai KAI kewalahan,” tulisnya.

Warganet lain, @agung.ghoenk, mengingatkan agar kasus kecil seperti ini jangan sampai memicu kembali peristiwa kelam di Kalimantan, seperti konflik Sampit yang pernah terjadi di awal tahun 2000-an. “Jangan sampai Sampit terulang. Aku sebagai orang Jawa hanya sekadar menghargai. Semoga semua tetap aman. Ingat, jangan sampai masalah kecil jadi besar,” tulisnya.

Ia juga menekankan pentingnya menjaga sikap saling menghormati antarwarga dari berbagai latar belakang budaya.

Sementara itu, komentar yang cukup menyentuh datang dari akun @andika_romansyah, yang mengaku sebagai warga asli Sampit. Ia mengingatkan betapa pahitnya hidup di tengah kerusuhan yang melibatkan unsur suku.

“Permasalahan kecil seperti ini kalau gak diselesaikan bakal numpuk jadi kerusuhan. Saya asli Sampit, dari lahir di sana. Kerusuhan itu gak enak lho, mau kamu dari suku apa aja… cari makan susah, pasar lumpuh, harga barang meroket,” tulisnya.

Ia mengenang masa saat keluarganya harus berjaga malam dengan senjata tradisional untuk melindungi diri. “Saya ingat bapak saya tiap hari jaga malam, bawa tombak dan mandau. Beruntung kami punya toko sembako, jadi masih bisa makan. Tapi orang lain banyak yang menjarah karena gak ada pilihan lain,” lanjutnya.

Pernyataan tersebut menjadi refleksi agar masyarakat tidak terpancing emosi dan lebih mengedepankan jalan hukum serta mediasi untuk menyelesaikan persoalan.

Akun lain, @carmelia_beerich, menyinggung kembali peristiwa lama di Kalimantan yang dikenal luas sebagai perang antarsuku. Ia menulis. “Perlu diceritain perang antar suku di Kalimantan beberapa tahun silam kah? Itu gak ada polisi yang nangkap, asal tahu aja, orang Dayak bisa terbang tuh nyata (meskipun saya belum pernah lihat langsung).”

Walaupun disampaikan dengan nada bercanda, komentar tersebut menggarisbawahi betapa sensitifnya isu suku di wilayah Kalimantan yang memiliki sejarah konflik sosial yang cukup panjang.

Pengamat dan Masyarakat Imbau Jalur Hukum dan Mediasi: Dari berbagai komentar dan reaksi publik, terlihat adanya kekhawatiran bersama bahwa sengketa tanah ini bisa menjadi pemicu gesekan sosial jika tidak segera ditangani. Pengamat sosial menilai, kasus seperti ini semestinya ditangani melalui jalur hukum dan mediasi resmi, bukan lewat media sosial.

Pihak berwenang juga diharapkan turun tangan melakukan klarifikasi data kepemilikan tanah serta menegakkan aturan sesuai prosedur. Bila ada pelanggaran, harus diproses tanpa memandang asal-usul pelaku.

Selain itu, pemerintah daerah diminta aktif melakukan edukasi sosial dan komunikasi lintas budaya, agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh unggahan atau narasi yang dapat memperuncing perbedaan.

Akun @pontianakmedia_id dalam unggahannya sudah memberi penekanan agar masyarakat tidak mengaitkan peristiwa ini dengan identitas etnis tertentu. Admin akun menulis secara eksplisit bahwa kasus ini hanya melibatkan oknum, bukan mewakili satu kelompok.

Langkah tersebut diapresiasi sejumlah warganet yang menilai sikap itu penting untuk menjaga netralitas media lokal dan mencegah munculnya sentimen yang bisa memperkeruh suasana.

Kasus sengketa tanah di Pontianak yang viral di media sosial memperlihatkan dua hal penting: pertama, masih lemahnya pengawasan terhadap penggunaan lahan dan status kepemilikan di tingkat masyarakat; kedua, tingginya sensitivitas publik terhadap isu sosial yang berpotensi memicu gesekan identitas.

Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa penyelesaian masalah semestinya dilakukan melalui jalur hukum, komunikasi terbuka, dan mediasi yang adil. Masyarakat diimbau tetap tenang, tidak terprovokasi, dan mempercayakan penegakan hukum kepada aparat terkait.

Seperti disampaikan oleh salah satu warganet. “Permasalahan kecil kalau tidak diselesaikan, bisa menumpuk jadi kerusuhan.”

Ungkapan itu menjadi pesan moral agar setiap pihak belajar dari pengalaman masa lalu dan menjaga kerukunan sosial di Kalimantan Barat, khususnya di Kota Pontianak.

Disusun berdasarkan unggahan dan komentar akun @pontianakmedia_id di Threads (diakses 5 Oktober 2025).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *