Pesawaran, SniperNew.id – Konflik agraria antara masyarakat adat Desa Halangan Ratu, Kecamatan Negeri Katon, Kabupaten Pesawaran, dengan pihak PTPN I Regional 7 Unit Usaha Rejosari Natar kembali mengemuka. Warga menuding perusahaan pelat merah tersebut melakukan ketidaktransparanan dalam pengelolaan dan klaim kepemilikan lahan seluas 988,28 hektare, yang disebut-sebut merupakan tanah adat milik masyarakat setempat.
Tokoh adat menilai perusahaan telah menyampaikan informasi tidak sesuai fakta kepada publik terkait luas lahan dan program kemitraan dengan masyarakat. Dalam dokumen internal PTPN yang dirilis melalui Tabel 17 tentang luas areal (afdeling), disebutkan bahwa perusahaan telah menyerahkan 2.413 hektare lahan kebun plasma kepada masyarakat sekitar. Namun, warga dengan tegas membantah klaim tersebut.
Pihak-pihak yang terlibat dalam polemik ini adalah masyarakat adat Desa Halangan Ratu di bawah kepemimpinan tokoh adat Asli Gelar Pengikhan Peduka, serta PTPN I Regional 7 Unit Usaha Rejosari Natar, yang beroperasi di wilayah Kabupaten Pesawaran dan sekitarnya. Masyarakat menilai perusahaan tidak menjalankan kewajiban sosial dan ekonomi sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Asli Gelar Pengikhan Peduka menjadi salah satu tokoh adat yang paling vokal dalam memperjuangkan hak masyarakat. Ia menegaskan bahwa klaim perusahaan mengenai adanya kebun plasma hanyalah “ilusi data” yang digunakan untuk menciptakan kesan positif di mata publik dan pemerintah.
“Kalau kita lihat kenyataan di lapangan, data yang disampaikan PTPN I Regional 7 tidak benar. Mereka merilis tabel luas areal yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Ini bentuk pembohongan publik,” ujarnya tegas saat ditemui sejumlah awak media, Senin (13/10/2025).
Masyarakat adat menuding bahwa tidak ada kebun plasma yang dibagikan kepada warga, seperti yang diklaim oleh pihak PTPN. Sebaliknya, lahan justru disewakan kepada masyarakat dengan tarif mencapai Rp8 juta per hektare per tahun. Kondisi ini dinilai bertolak belakang dengan semangat kemitraan yang seharusnya dijalankan oleh perusahaan perkebunan negara.
Menurut warga, praktik penyewaan lahan ini tidak hanya menyalahi prinsip tanggung jawab sosial perusahaan, tetapi juga melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang mewajibkan setiap perusahaan perkebunan untuk menyediakan minimal 20 persen dari total luas lahannya bagi masyarakat di sekitar wilayah operasional dalam bentuk kemitraan atau kebun plasma.
“Kewajiban itu tidak pernah dijalankan. Yang ada justru lahan disewakan kepada masyarakat adat. Kalau pun ada data lama tahun 2013 yang menyebut adanya kebun plasma atau kemitraan, itu hanya untuk mengelabui pemerintah dan menutupi kondisi sebenarnya,” tambah Asli Gelar Pengikhan Peduka.
Persoalan lahan ini bukan hal baru. Konflik antara masyarakat adat Halangan Ratu dan pihak PTPN sudah berlangsung bertahun-tahun, bahkan sebelum restrukturisasi BUMN perkebunan yang kini berada di bawah holding PTPN I Regional 7. Warga telah lama memperjuangkan pengakuan atas tanah adat seluas 988,28 hektare yang mereka klaim sebagai warisan turun-temurun.
Isu kembali mencuat pada Oktober 2025, setelah warga menemukan adanya ketidaksesuaian antara kondisi lapangan dan data resmi yang disampaikan perusahaan. Puncaknya terjadi ketika masyarakat adat melakukan pertemuan bersama tokoh masyarakat dan jurnalis di Halangan Ratu untuk menyuarakan kembali aspirasi mereka.
Mereka menganggap bahwa perusahaan berupaya menutupi fakta dengan menyajikan data yang tidak sesuai kenyataan. Dalam praktiknya, lahan yang seharusnya digunakan untuk plasma justru dikelola sepenuhnya oleh perusahaan atau disewakan dengan harga tinggi.
Konflik lahan terjadi di wilayah Desa Halangan Ratu, Kecamatan Negeri Katon, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Wilayah ini berbatasan langsung dengan areal perkebunan PTPN I Regional 7 Unit Usaha Rejosari Natar, yang secara administratif masuk wilayah Kabupaten Lampung Selatan.
Letak geografis yang berdekatan membuat batas lahan antara tanah adat dan lahan perusahaan kerap tumpang tindih. Warga mengklaim bahwa sebagian areal yang dikelola perusahaan merupakan tanah ulayat masyarakat adat Halangan Ratu, yang telah digarap secara turun-temurun sejak masa leluhur.
“Kami ini bukan menyerobot. Tanah itu memang milik adat kami. Sudah dari dulu masyarakat Halangan Ratu hidup dari situ, sebelum ada perusahaan. Sekarang malah disewakan kembali kepada kami sendiri,” keluh seorang warga setempat.
Ada dua alasan utama mengapa konflik ini kembali mencuat: – Ketidaksesuaian Data PTPN dengan Fakta di Lapangan
Warga menemukan bahwa data yang dirilis dalam Tabel 17 PTPN I Regional 7 yang menyebut adanya kebun plasma seluas 2.413 hektare – tidak pernah terealisasi. Tidak ada bukti kebun plasma yang dikelola masyarakat di sekitar areal perkebunan.
– Praktik Penyewaan Lahan kepada Warga. Alih-alih memberikan kebun plasma, pihak perusahaan justru menyewakan lahan kepada masyarakat adat dengan biaya tinggi, mencapai Rp8 juta per hektare per tahun. Praktik ini dianggap eksploitasi ekonomi yang merugikan masyarakat adat dan melanggar prinsip kemitraan yang diatur dalam undang-undang.
Asli Gelar Pengikhan Peduka juga menduga bahwa langkah tersebut merupakan strategi perusahaan untuk memecah belah masyarakat adat, agar perjuangan mereka melemah dan tidak lagi kompak menuntut hak atas tanah adat.
“Kami yakin, dengan cara seperti itu, PTPN I Regional 7 berusaha memecah masyarakat adat agar tidak kompak memperjuangkan haknya,” ujarnya.
Hingga berita ini diterbitkan, PTPN I Regional 7 Unit Usaha Rejosari Natar belum memberikan tanggapan resmi terkait tudingan masyarakat adat. Upaya konfirmasi dari sejumlah media lokal juga belum mendapatkan respons.
Meski demikian, sejumlah pihak menilai bahwa PTPN perlu segera memberikan klarifikasi publik agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berlarut-larut. Keterbukaan data dan komunikasi dengan masyarakat dinilai menjadi kunci penyelesaian konflik yang sudah berlangsung lama ini.
Pemerintah daerah Kabupaten Pesawaran diminta turun tangan untuk menengahi konflik antara masyarakat adat dan PTPN. Beberapa tokoh masyarakat berharap agar pemerintah provinsi maupun pusat ikut melakukan verifikasi ulang terhadap data lahan dan program plasma yang diklaim oleh perusahaan.
Selain itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil di Lampung juga mulai memberikan perhatian pada kasus ini, mengingat potensi pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat yang dijamin dalam berbagai peraturan, termasuk Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Masyarakat adat Halangan Ratu menegaskan bahwa mereka tidak menolak keberadaan perusahaan, namun menuntut keadilan dan transparansi. Mereka meminta agar lahan adat yang selama ini dikuasai perusahaan dapat dikembalikan, atau setidaknya diberikan akses kelola yang adil bagi masyarakat sekitar.
“Kami ingin hidup berdampingan secara adil. Jangan sampai kami hanya jadi penonton di tanah kami sendiri,” ujar Asli Gelar Pengikhan Peduka menutup pernyataannya.
Konflik antara masyarakat adat Halangan Ratu dan PTPN I Regional 7 mencerminkan persoalan klasik dalam pengelolaan tanah di sektor perkebunan Indonesia: tumpang tindih kepemilikan, minimnya transparansi, dan lemahnya pelaksanaan kemitraan. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pengawasan ketat dan keterbukaan data publik agar perusahaan tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga memenuhi tanggung jawab sosial terhadap masyarakat sekitar.
Hingga kini, masyarakat adat Halangan Ratu masih menanti kejelasan nasib tanah adat mereka – sembari berharap ada itikad baik dari pemerintah dan perusahaan untuk menyelesaikan sengketa ini secara adil dan bermartabat. (sufiyawan).












