Berita Daerah

Jaga Marwah Adat Lampung, Sukardi Asyah Tempuh Jalur Hukum atas Dugaan Penghinaan di Media Sosial

285
×

Jaga Marwah Adat Lampung, Sukardi Asyah Tempuh Jalur Hukum atas Dugaan Penghinaan di Media Sosial

Sebarkan artikel ini

Bandar Lampung, SniperNew.id – Langkah tegas diambil oleh Sukardi Asyah, Ketua Umum Angkatan Muda Badik Lampung (AMBL), setelah marwah dan kehormatan suku adat Lampung disebut-sebut tercemar akibat unggahan dan percakapan di media sosial. Ia resmi melaporkan dugaan tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Lampung) pada Senin (20 Oktober 2025).

Laporan Sukardi diterima secara resmi oleh pihak kepolisian dengan Surat Tanda Terima Laporan (STTLP) Nomor: STTLP/B/2482/X/2025/SPKT/POLDA LAMPUNG. Petugas yang menerima laporan tersebut adalah Aiptu Desfan Arifzon, S.H., yang bertugas mewakili SPKT Polda Lampung.

Dalam laporan tersebut, Sukardi menyampaikan dugaan bahwa telah terjadi penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap dirinya dan terhadap suku adat Lampung melalui aplikasi WhatsApp.

Pesan yang tersebar di salah satu grup percakapan itu dinilai mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) serta menyerang martabat masyarakat adat Lampung.

Isi pesan itu, menurut Sukardi, tidak hanya merugikan secara pribadi, tetapi juga mencederai nilai-nilai adat yang selama ini dijaga sebagai identitas dan kehormatan masyarakat Lampung.
“Saya tidak bisa membiarkan ujaran seperti itu beredar bebas. Ini bukan hanya tentang nama saya, tapi tentang marwah suku adat Lampung yang direndahkan,” ujar Sukardi saat ditemui usai membuat laporan di Polda Lampung.

Laporan hukum ini diajukan oleh Sukardi Asyah, tokoh muda adat sekaligus Ketua Umum AMBL.
Ia dikenal sebagai figur yang vokal dalam memperjuangkan eksistensi dan kehormatan masyarakat adat Lampung di tengah arus digitalisasi informasi.

Pihak yang diduga melakukan penghinaan belum disebutkan secara detail oleh Sukardi. Ia menegaskan, proses hukum akan berjalan sesuai mekanisme penyelidikan kepolisian.
“Saya menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum. Siapa pun yang terbukti melanggar, biarlah hukum yang bicara,” katanya.

Pihak Polda Lampung sendiri melalui SPKT menyatakan laporan telah diterima dan akan segera dilakukan penelaahan awal oleh tim penyidik. Apabila ditemukan unsur pidana, perkara ini akan ditangani oleh Unit Siber Polda Lampung sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Peristiwa dugaan penghinaan ini disebut terjadi di wilayah Labuhan Ratu, Kota Bandar Lampung. Namun dampaknya meluas hingga menjadi perbincangan publik di media sosial, setelah tangkapan layar percakapan WhatsApp berisi ujaran yang dianggap menghina itu tersebar ke berbagai grup masyarakat adat dan komunitas online.

Kawasan Labuhan Ratu yang dikenal memiliki masyarakat adat Lampung yang kuat nilai budayanya, kini menjadi sorotan. Banyak tokoh adat dan pemuda setempat menyatakan keprihatinan atas peristiwa tersebut, dan mendukung langkah hukum yang ditempuh Sukardi.

Dugaan penghinaan di grup WhatsApp itu diketahui beredar beberapa hari sebelum laporan resmi dibuat.
Setelah dilakukan penelusuran internal dan konsultasi dengan tokoh adat, Sukardi kemudian menempuh jalur hukum pada Senin, 20 Oktober 2025, dengan membawa bukti digital percakapan yang dinilai mengandung unsur penghinaan.

Motif laporan ini, menurut Sukardi, bukan semata untuk membalas atau memperkeruh suasana, tetapi untuk menegakkan keadilan dan menjaga martabat adat Lampung agar tidak menjadi bahan olok-olokan di ruang publik digital.

Ia menegaskan, media sosial seharusnya menjadi wadah edukasi dan komunikasi yang positif, bukan sarana menyebarkan kebencian atau fitnah.

“Langkah hukum ini saya tempuh bukan karena dendam, melainkan karena saya ingin menegakkan kebenaran. Bila dibiarkan, hal seperti ini bisa merusak hubungan sosial dan memecah persatuan masyarakat adat,” tegasnya.

Sukardi juga menyebut, tindakan tersebut merupakan upaya pembelajaran publik agar setiap individu memahami batas kebebasan berekspresi di ruang digital.
“Semua orang boleh berpendapat, tapi ada batasnya. Jangan sampai kebebasan berujung pada pelanggaran hukum,” ujarnya menambahkan.

Laporan Sukardi kepada Polda Lampung ini mengacu pada Pasal 156 KUHP tentang ujaran kebencian yang menimbulkan permusuhan antar golongan, serta Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang melarang penyebaran informasi yang mengandung unsur SARA.

Berdasarkan aturan tersebut, pelaku yang terbukti bersalah dapat dijerat dengan hukuman penjara hingga enam tahun dan/atau denda maksimal satu miliar rupiah. Meski demikian, Sukardi berharap proses hukum berjalan objektif dan mengedepankan pendekatan edukatif, bukan semata represif.

“Saya percaya kepolisian akan bertindak profesional. Yang terpenting adalah keadilan ditegakkan, agar masyarakat belajar dari peristiwa ini,” ujarnya.

Kasus ini langsung menjadi perhatian publik di Lampung. Sejumlah tokoh adat dan organisasi masyarakat menyampaikan dukungan terhadap langkah hukum yang diambil Sukardi.
Mereka menilai tindakan tersebut merupakan bentuk pembelaan terhadap kehormatan adat dan etika komunikasi digital yang mulai memudar di kalangan generasi muda.

Tokoh adat Sai Batin dari Lampung Selatan, misalnya, menyebut tindakan tegas ini penting untuk memberikan efek jera.

“Kita hidup dengan adat dan norma. Kalau adat dihina, berarti marwah kita diinjak. Maka langkah hukum itu sudah tepat, agar ada efek mendidik,” ujarnya.

Sementara pengamat sosial dari Universitas Lampung menilai bahwa kasus ini menjadi momentum memperkuat literasi digital dan hukum di daerah.

Menurutnya, masih banyak masyarakat yang belum memahami konsekuensi hukum dari ujaran di media sosial, padahal setiap kata yang disebarkan bisa menjadi bukti digital yang sah di mata hukum.

Fenomena penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media sosial bukan hal baru. Data dari kepolisian menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024 hingga pertengahan 2025, ratusan laporan pelanggaran UU ITE diterima di berbagai daerah di Indonesia.
Kasus-kasus tersebut umumnya berawal dari percakapan di grup WhatsApp, komentar di media sosial, atau unggahan pribadi yang dianggap melanggar etika dan hukum.

Pihak kepolisian pun terus mengimbau masyarakat agar bijak dalam menggunakan media sosial, terutama dalam konteks yang menyangkut identitas, agama, dan adat istiadat.
“Setiap kata di dunia maya bisa berdampak dunia nyata. Jadi, pikirkan dulu sebelum mengetik,” ujar seorang penyidik Unit Siber yang enggan disebut namanya.

Setelah laporan Sukardi diterima, Polda Lampung kini melakukan penelaahan awal untuk memastikan kelengkapan bukti dan unsur pidana.
Apabila hasil telaah menunjukkan adanya pelanggaran hukum, kasus ini akan dilanjutkan ke tahap penyelidikan resmi oleh Unit Siber Polda Lampung.

Proses tersebut melibatkan pemeriksaan saksi, analisis jejak digital, serta penyitaan data percakapan dari aplikasi WhatsApp yang diduga menjadi sumber penghinaan.

Hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian belum memberikan pernyataan resmi mengenai identitas terlapor maupun perkembangan penyidikan lebih lanjut.
Namun publik menantikan langkah tegas aparat hukum dalam menangani kasus ini secara transparan dan profesional.

Kasus yang melibatkan Sukardi Asyah ini mencerminkan betapa pentingnya menjaga kehormatan adat di era digital.
Di tengah derasnya arus informasi dan kebebasan berekspresi, etika dan tanggung jawab sosial tetap harus menjadi dasar setiap tindakan.

Sukardi berharap, laporannya ini tidak hanya menjadi perkara hukum, tetapi juga pembelajaran bagi generasi muda agar menghormati nilai-nilai adat, budaya, dan identitas daerah.

“Lampung punya marwah, punya adat, dan punya harga diri. Jangan biarkan teknologi membuat kita lupa siapa diri kita,” pungkasnya.

Apapun hasilnya, peristiwa ini telah membuka mata banyak pihak bahwa ujaran di media sosial bukan sekadar tulisan di layar, melainkan bisa berimplikasi hukum dan sosial yang luas.

Langkah Sukardi Asyah menjadi simbol bahwa hukum dan adat dapat berjalan beriringan, menjaga kehormatan dan martabat bersama di tengah era digital yang serba terbuka.
Hukum harus menjadi pelindung bagi yang benar, bukan alat untuk saling menjatuhkan — demi menjaga marwah adat Lampung dan keharmonisan sosial di Tanah Sai Bumi Ruwa Jurai.

Catatan Redaksi:
Tulisan ini disusun berdasarkan asas keberimbangan dan verifikasi, dengan berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Pasal 1–3, yang mengutamakan ketepatan fakta, tidak beritikad buruk, serta menghormati asas praduga tak bersalah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *