Berita Daerah

Warga Halangan Ratu Gugat PTPN I Regional 7: Diduga Kuasai Lahan Adat dan Bangun Parit Bahaya di Sekitar Permukiman

462
×

Warga Halangan Ratu Gugat PTPN I Regional 7: Diduga Kuasai Lahan Adat dan Bangun Parit Bahaya di Sekitar Permukiman

Sebarkan artikel ini

Pesawaran, SniperNew.id – Sejumlah warga dan tokoh adat Desa Halangan Ratu, Kecamatan Negeri Katon, Kabupaten Pesawaran, menuding PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional 7 Unit Usaha Rejosari Natar telah menguasai lahan adat seluas sekitar 988,28 hektare yang telah dikelola perusahaan tersebut selama puluhan tahun, Selasa (14/10).

Warga juga mengaku resah dengan keberadaan parit besar yang dibangun perusahaan di perbatasan antara kebun sawit dan area permukiman warga. Parit itu disebut memiliki panjang sekitar 1 kilometer, lebar 4 meter, dan kedalaman 4 meter.

Menurut keterangan warga, parit tersebut berdekatan dengan rumah-rumah penduduk dan menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi membahayakan anak-anak serta hewan peliharaan yang sering bermain atau melintas di sekitar lokasi.

Tokoh adat sekaligus Ketua Punyimbang Adat Tiyuh Halangan Ratu, Abu Bakar yang bergelar Suntan Lama, menjadi salah satu pihak yang menyuarakan keluhan masyarakat terhadap aktivitas PTPN I Regional 7.

Dalam keterangannya kepada sejumlah media, Suntan Lama menegaskan bahwa keberadaan perusahaan negara tersebut tidak membawa dampak positif bagi masyarakat sekitar, melainkan justru menimbulkan ketakutan dan keresahan sosial.

“Kalau menurut saya, keberadaan perkebunan kelapa sawit yang dikelola PTPN I Regional 7 tidak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Justru menimbulkan rasa takut, terutama bagi orang tua yang memiliki anak kecil, karena adanya parit besar di sekitar pemukiman,” ujar Suntan Lama.

Masalah utama yang dipersoalkan warga adalah penguasaan lahan adat dan pembangunan parit besar di dekat pemukiman. Selain itu, muncul pula dugaan bahwa perusahaan melakukan kebohongan publik terkait informasi pembagian lahan plasma untuk masyarakat.

Suntan Lama menyebut, klaim perusahaan yang menyatakan telah menyerahkan 2.413 hektare lahan plasma kepada masyarakat tidak sesuai fakta di lapangan. Berdasarkan data yang dimiliki masyarakat, luas lahan yang dikelola warga hanyalah sekitar 31 hektare, itupun bukan hasil hibah perusahaan, melainkan hasil sewa dengan tarif sekitar Rp8 juta per hektare per tahun.

“Pihak perusahaan mengklaim telah memberikan lahan plasma seluas 2.413 hektare kepada masyarakat. Padahal, menurut kami, itu tidak benar. Berdasarkan data yang kami ketahui, masyarakat justru menyewa lahan milik PTPN dengan biaya sekitar Rp8 juta per hektare per tahun, dan luasnya pun hanya sekitar 31 hektare,” terang Suntan Lama.

Permasalahan ini mencuat kembali baru-baru ini, setelah sejumlah media lokal dan nasional menyoroti keluhan masyarakat Desa Halangan Ratu yang merasa hak atas tanah adat mereka telah diabaikan. Menurut keterangan warga, konflik lahan dengan PTPN I Regional 7 bukanlah hal baru, melainkan sudah berlangsung lama tanpa penyelesaian yang jelas.

Masyarakat setempat merasa semakin terpojok setelah perusahaan membangun parit besar di sekitar perbatasan kebun sawit yang berdekatan langsung dengan pemukiman penduduk.
Langkah tersebut dinilai memisahkan akses warga, serta menimbulkan rasa tidak aman di lingkungan desa.

Kasus ini terjadi di Desa Halangan Ratu, Kecamatan Negeri Katon, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.
Wilayah ini berbatasan dengan area perkebunan sawit milik PTPN I Regional 7 Unit Usaha Rejosari Natar, yang sudah beroperasi selama beberapa dekade di wilayah tersebut.

Bagi masyarakat adat Halangan Ratu, tanah yang kini menjadi lahan perkebunan merupakan bagian dari tanah ulayat atau tanah warisan leluhur yang memiliki nilai historis dan adat tinggi. Oleh karena itu, penguasaan lahan oleh pihak perusahaan dianggap melanggar hak adat dan mengancam identitas budaya lokal.

Warga menilai aktivitas PTPN I Regional 7 tidak memberikan manfaat ekonomi maupun sosial kepada masyarakat sekitar. Alih-alih membuka lapangan kerja atau memberikan kontribusi nyata bagi desa, kehadiran perusahaan justru dianggap menimbulkan keresahan dan ketimpangan sosial.

Selain itu, keberadaan parit besar yang dibangun tanpa sosialisasi dianggap bentuk pengabaian terhadap keselamatan warga. Orang tua di desa kini merasa khawatir anak-anak mereka bermain terlalu dekat dengan parit, sementara hewan peliharaan juga kerap terperosok ke dalam lubang yang dalam dan curam itu.

Masyarakat dan tokoh adat berharap pemerintah daerah maupun pusat segera turun tangan menyelesaikan persoalan ini agar tidak berkembang menjadi konflik horizontal.

“Kami berharap pemerintah daerah, DPRD Kabupaten Pesawaran, serta pemerintah provinsi dan pusat dapat segera turun tangan menyelesaikan persoalan ini agar tidak terjadi konflik antara masyarakat dan pihak perusahaan,” tegas Suntan Lama.

Warga juga meminta adanya transparansi data mengenai status kepemilikan lahan dan kejelasan program plasma yang selama ini diklaim telah diberikan kepada masyarakat.

Selain itu, warga berharap pemerintah dapat memfasilitasi dialog terbuka antara masyarakat adat dengan pihak perusahaan, dengan melibatkan unsur pemerintah, aparat keamanan, serta lembaga adat untuk mencapai penyelesaian damai dan adil.

Hingga berita ini diterbitkan oleh sejumlah media dan menjadi viral di berbagai platform, pihak PTPN I Regional 7 Unit Usaha Rejosari Natar belum memberikan tanggapan resmi.
Upaya konfirmasi yang dilakukan oleh wartawan juga belum mendapatkan jawaban, baik secara langsung maupun tertulis.

Ketiadaan klarifikasi dari pihak perusahaan menimbulkan beragam spekulasi publik, terutama di kalangan warga yang merasa diabaikan.
Sebagian tokoh masyarakat mendesak agar pihak PTPN segera memberikan penjelasan terbuka kepada media dan masyarakat guna meredakan ketegangan sosial di wilayah tersebut.

Kasus yang terjadi di Desa Halangan Ratu menjadi potret kecil dari persoalan konflik agraria antara masyarakat adat dan perusahaan perkebunan di berbagai daerah di Indonesia. Persoalan ini menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan informasi, lemahnya pengawasan pemerintah, dan minimnya partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengelolaan sumber daya alam.

Jika tidak segera ditangani secara serius dan transparan, konflik serupa berpotensi meluas serta mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi daerah.
Oleh karena itu, semua pihak diharapkan mengutamakan dialog, musyawarah, dan pendekatan hukum yang adil dalam menyelesaikan persoalan ini.

Pemerintah daerah, DPRD, dan instansi terkait perlu melakukan verifikasi lapangan terhadap status lahan dan memastikan keberadaan parit besar tersebut tidak membahayakan keselamatan warga.

Selain itu, penting bagi perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab sosialnya (CSR) dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan lahan dan memberikan manfaat nyata bagi pembangunan desa.

Kasus tudingan penguasaan lahan adat oleh PTPN I Regional 7 di Desa Halangan Ratu menjadi sorotan publik karena melibatkan kepentingan masyarakat adat dan perusahaan milik negara.
Masyarakat berharap adanya keadilan, transparansi, serta perhatian pemerintah agar konflik tidak semakin meluas.

Sampai berita ini disusun, belum ada tanggapan resmi dari pihak perusahaan terkait tudingan yang disampaikan oleh Abu Bakar (Suntan Lama) dan masyarakat Desa Halangan Ratu.

Masyarakat menegaskan akan terus memperjuangkan hak atas tanah adat mereka, sambil berharap semua pihak dapat menyelesaikan persoalan ini dengan damai dan bermartabat. (ahm/ahm).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *