Barito Utara, SniperNew.id – Polemik mengenai status lahan milik Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Barito Utara kembali mencuat ke permukaan. Seorang mantan pejabat Pemda setempat, berinisial GM, akhirnya angkat bicara untuk meluruskan berbagai kabar yang berkembang di masyarakat, Kamis (09/10/2025).
Permasalahan tanah ini disebut berkaitan dengan areal di luar pagar Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Muara Teweh, tepatnya mulai dari batas Kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) hingga jalan masuk kompleks RSUD Muara Teweh. GM menyatakan bahwa tanah tersebut sempat ditarik kembali oleh pihak pemerintah dengan alasan adanya proses tukar guling (ruislag) yang belum selesai secara administratif maupun hukum.
Menurut GM, kisruh ini bermula sejak awal tahun 2003, saat lahan seluas 2.400 meter persegi di Kecamatan Montalat, Kelurahan Montalat II, didaftarkan dan disertifikatkan atas nama Pemerintah Daerah Barito Utara. Namun, hingga kini, ia menilai belum pernah ada penyelesaian secara musyawarah maupun mediasi resmi antara pihak pemerintah dan warga yang merasa dirugikan.
“Tanah di Kecamatan Montalat tersebut sudah disertifikatkan atas nama Pemda dengan luas sekitar dua ribu empat ratus meter persegi sejak tahun 2003. Namun, sampai sekarang belum ada penyelesaian yang baik, bahkan musyawarah pun tidak pernah dilakukan,” tutur GM dengan nada tegas saat ditemui, baru-baru ini.
GM mengungkapkan bahwa dirinya selama ini memilih diam dan tidak ingin memperkeruh suasana. Namun, seiring munculnya berbagai pemberitaan yang menyudutkan pihak tertentu, ia merasa perlu memberikan keterangan yang sebenarnya, agar publik tidak salah paham mengenai status tanah yang dipersoalkan.
“Saya sangat memohon agar pemerintah daerah dapat segera menyertifikasi ulang lahan yang ada di Kecamatan Montalat tersebut. Saya ingin semuanya jelas dan tidak menimbulkan salah pengertian. Supaya masyarakat juga tahu duduk persoalan yang sebenarnya,” tambahnya dengan nada berharap.
Ia menegaskan, permasalahan ini seharusnya bisa diselesaikan dengan pendekatan musyawarah dan transparansi data. Menurutnya, Pemda tidak memiliki kewenangan untuk menyertifikatkan tanah warga tanpa proses yang sesuai dengan ketentuan hukum pertanahan.
“Saya pribadi sangat merasa tidak enak, karena sudah muncul berita-berita tentang tanah ini, seolah-olah ada pelanggaran. Padahal yang sebenarnya, Pemda setempat tidak berhak untuk menyertifikatkan tanah milik warga Kelurahan Montalat II tersebut,” ujar GM.
GM menambahkan, sejak awal tahun 2002, tanah di pinggir jalan raya Kelurahan Montalat II dengan luas sekitar 2.400 meter persegi telah masuk dalam proses sertifikasi oleh pihak Pemda. Namun proses tersebut, kata dia, tidak pernah dituntaskan dengan transparan.
“Semenjak dari tahun 2002, tanah di pinggir jalan raya Kelurahan Montalat II seluas 2.400 meter persegi sudah disertifikatkan oleh pihak Pemda. Namun, sampai saat ini belum ada penjelasan resmi bagaimana proses itu bisa terjadi,” jelasnya.
Lebih jauh, GM berharap agar dalam waktu dekat, Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara pihak-pihak terkait, termasuk Pemerintah Daerah, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan masyarakat setempat, dapat segera digelar. Ia menilai forum tersebut penting untuk membuka seluruh data dan kronologi secara terbuka agar tidak terjadi kesimpangsiuran informasi.
“Saya berharap RDP bisa segera dilaksanakan. Saya ingin semua pihak hadir agar permasalahan ini benar-benar jelas. Saya dengar bulan Oktober ini rencananya akan dilakukan pembahasan, dan saya harap semua bisa terungkap dan tuntas,” ucapnya dengan nada kecewa namun tetap tenang.
Kasus sengketa tanah antara pemerintah daerah dan masyarakat bukanlah hal baru di wilayah Barito Utara. Beberapa kali, muncul persoalan serupa akibat tumpang tindih kepemilikan lahan, ketidaksesuaian data sertifikat, serta minimnya sosialisasi kepada warga terkait proses administrasi pertanahan.
Dalam kasus yang diungkap GM ini, lokasi tanah yang dimaksud berada di area strategis, tidak jauh dari pusat kegiatan publik, yakni RSUD Muara Teweh. Tanah tersebut disebut pernah menjadi bagian dari rencana tukar guling aset antara Pemda dengan pihak lain, namun mekanismenya dinilai tidak tuntas secara hukum.
Praktik tukar guling aset atau ruislag sebenarnya diatur dalam peraturan pemerintah, dengan syarat harus mendapatkan persetujuan dari DPRD, penilaian aset oleh lembaga resmi, serta pencatatan yang jelas di neraca aset daerah. Tanpa melalui mekanisme tersebut, sertifikat lahan berpotensi bermasalah dan memunculkan klaim dari pihak lain.
Sementara itu, menurut pengakuan GM, sejak awal ia sudah menyarankan agar semua proses administrasi tanah di Montalat dilakukan secara terbuka. Namun, karena dinamika politik dan pergantian pejabat, ia menduga banyak dokumen yang kini tidak lagi tertelusuri dengan baik.
Mantan pejabat berinisial GM ini dikenal sebagai salah satu tokoh yang cukup lama mengabdi di lingkungan Pemerintah Daerah Barito Utara. Selama masa jabatannya, ia terlibat dalam beberapa proyek pembangunan fasilitas umum, termasuk pengelolaan aset daerah.
Menurut GM, alasannya baru memberikan keterangan sekarang adalah karena munculnya pemberitaan yang menurutnya tidak berimbang dan dapat merugikan nama baik dirinya maupun masyarakat Montalat II.
“Saya tidak ingin ada kesalahpahaman. Saya bicara bukan untuk mencari pembenaran, tapi untuk meluruskan fakta yang sebenarnya. Saya ingin masalah ini selesai secara baik-baik dan terbuka,” ujarnya.
GM menilai bahwa penyelesaian kasus seperti ini harus mengedepankan musyawarah dan keadilan administratif. Ia berharap Pemda bersama instansi terkait bisa duduk bersama, memeriksa ulang dokumen tanah yang ada, dan melakukan peninjauan lapangan.
Selain itu, ia mengusulkan agar pemerintah daerah melakukan inventarisasi ulang aset tanah milik Pemda di seluruh wilayah Barito Utara, guna mencegah terulangnya permasalahan serupa di masa depan.
“Saya kira solusi terbaik adalah duduk bersama. Jangan sampai tanah yang statusnya belum jelas malah menimbulkan masalah sosial di kemudian hari. Saya yakin semua pihak sebenarnya ingin masalah ini selesai dengan baik,” tuturnya menutup pembicaraan.
Permasalahan yang diungkap oleh GM memperlihatkan masih adanya kerancuan dalam pengelolaan aset daerah, khususnya terkait tanah hasil tukar guling. Hal ini menegaskan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap proses sertifikasi tanah milik pemerintah maupun masyarakat.
Kasus ini juga menjadi cerminan bahwa transparansi dan dokumentasi yang baik sangat dibutuhkan dalam tata kelola pemerintahan daerah. Tanpa hal tersebut, potensi sengketa dan ketidakpastian hukum akan terus terjadi.
Kini, masyarakat menanti langkah nyata dari Pemerintah Daerah Barito Utara untuk menindaklanjuti pernyataan GM dan segera memfasilitasi pertemuan resmi antara pihak-pihak terkait. Semua pihak berharap agar bulan Oktober ini, sebagaimana harapan GM, kebenaran dapat terungkap dan masalah ini tuntas secara adil dan terbuka.
Penulis: (Hendry)
Editor: (ahm/ahh).
Sumber: Wawancara langsung dengan GM dan dokumentasi lapangan.












